TRADISI DI CIREBON
Ada suatu tradisi di daerah Cirebon dan sekitarnya, setiap bulan Safar
terlihat anak-anak usia sekolah (SD, SMP), biasanya anak laki-laki
berselendangkan sarung dan berpeci, berkeliling mendatangi orang-orang
di keramaian, ke toko-toko atau mendatangi ke perumahan-perumahan untuk
“meminta sedekah” sambil bersenandung: “Wur tawur Ji, tawur ….. selamet dawa umur” yang dilantunkan berulang-ulang. Masyarakat Cirebon dan sekitarnya menyebut tradisi ini dengan Tawurji asal kata tawur dan ji.
Biasanya,
orang-orang dikeramaian itu atau toko-toko yang mereka datangi atau
yang diperumahan-perumahan, apalagi yang mengetahui tradisi bulan Safar
tersebut, dengan sukarela memberikan sedekah, umumnya berupa uang.
Dulu, sampai dengan tahun 1970-an, tawurji hanya dilakukan pada setiap hari Selasa
di bulan Safar, tetapi kini kadangkala dilakukan di sembarang hari.
Beberapa referensi menyatakan setiap hari Rabu, tetapi pernyataan hari
Selasa lebih kuat.
Sebenarnya ada apa dibalik tradisi bulan Safar tersebut?
Tulisan ini terinspirasi berdasarkan email dari kang Sueb Aidi, yang katanya beliau juga mendapatkannya dari rekan Elang Rachman yang menjadi Pandito di Sumber, suatu daerah di sebelah Barat kota Cirebon. Dan ditambah tulisan-tulisan dari sumber/referensi lain.
Tradisi bulan Safar, masyarakat Cirebon biasa menyebut Safaran, erat kaitannya dengan mitos dimusnahkannya ajaran Syeh Siti Jenar alias Syeh Lemahabang atau Syeh Jabaranta yang konon dianggap ajarannya dapat menyesatkan umat Islam. Dari mitor ini lahirlah 3 (tiga) tradisi di Cirebon, yaitu: Tawurji, Selamatan kue apem dan Ngirab (semacam mandi di kali/sungai).
Ketika
Syeh Siti Jenar di eksekusi pada bulan Safar 5 abad yang lalu, maka ke
40 anak asuhnya yang yatim itu menjadi terlantar. Dewan 9 wali (wali
sanga) memutuskan agar setiap masyarakat (rumah) di Cirebon dan
sekitarnya untuk memberikan perhatian dan santunan kepada ke 40 anak
yatim tersebut.
Maka,
ke 40 anak yatim tersebut setiap hari Selasa pada bulan Safar
berkeliling dari rumah ke rumah sambil mendendangkan senandung do’a: “Wur tawur Ji, tawur ….. selamet dawa umur” yang artinya “Sawer Tuan Kaji … sawer, selamat panjang umur“. Tuan Kaji (haji) kedudukannya sangat terhormat di masyarakat saat itu, jadi anak-anak menyebut kesemua orang “Ji” kependekan dari Kaji,
sebagai rasa hormat dan juga mengandung do’a bagi yang belum berhaji,
insya Allah suatu saat juga dapat menunaikan ibadah haji.
“Do’a anak-anak yatim itu manjur“, demikian tutur para wali, “Masyarakat harus memberi saweran“. Denikianlah tradisi Tawurji dibulan Safar sampai hari Selasa akhir di bulan itu, keesokan harinya dirayakan “Rebo Wekasan” (hari Rabu terakhir di bulan Safar), dengan melakukan Shalat Sunat 2 rakaat untuk tolak bala (petaka) dan kemudian bersiap-siap menyongsong perayaan Maulid Nabi (Muludan). Berabad-abad tradisi tawurji ini berjalan hingga sekarang yang merupakan amanah suci para wali untuk menangkal malapetaka.
Dalam
ajaran agama Islam menyantuni fakir miskin dan anak yatim sangat jelas
di sebutkan dalam Al Qur’an, Surat Al Maauun, ayat: 1 – 3 yang berbunyi:
-
Tahukan kamu (orang) yang mendustakan agama?
-
Itulah orang yang menghardik anak yatim,
-
dan tidak (menganjurkan) memberi makan orang miskin
Jadi,
apabila kita diberi kelonggaran rizki yang dititipkan Allah kepada
kita, seyogyanya kita maklum bahwa di dalamnya ada haknya anak yatim dan
orang miskin, maka santunilah anak yatim dan orang miskin karena mereka
sangat membutuhkan uluran tangan kita.
Semoga kita diberi kekuatan, kemampuan dan di ridhoi Allah SWT, Amin....